19 Oktober 2006

Confessions of An Economic Hit-Men (Pengakuan Seorang Pembunuh Ekonomi)

Bedah buku Confessions of An Economic Hit-Men dilaksanakan tanggal 15 September 2006 dipimpin oleh Ketua Torchbearer Dian Martin.

Apa yang pernah diramalkan oleh Soekarno, tentang Neoimperialisme dan Neokolonialisme ternyata terbukti dengan terbitnya sebuah pengakuan oleh John Perkins (JP), salah seorang pembunuh ekonomi bayaran (EHM).
John Perkins seorang muda yang brillian, direkrut oleh NSA (National Security Agency), dan dilatih oleh MAIN untuk menjadi professional yang bersedia memanipulasi data-data ekonomi sebuah negara berkembang demi kepentingan perusahaan dan negaranya sendiri, biarpun upaya ini disadari akan merusak sendi-sendi kehidupan alam & masyarakat di negara (berkembang) itu.

Caranya sangat sederhana. Mereka (EHM) datang ke negara-negara berkembang untuk mengadakan penelitian. Kemudian data-data hasil penelitian (yang telah dimanipulasi) ini akan dijadikan referensi bagi lembaga-lembaga keuangan dunia seperti World Bank, ADB, USAID, IMF untuk menentukan besarnya dana pinjaman yang disalurkan dalam membangun infrastruktur di negara-negara peminjam. Kemudian, negara-negara peminjam baru dikucurkan dana pinjaman bila memberikan proyek-proyek pembangunan dan kontruksi infrastruktur raksasa-nya kepada perusahaan-perusahaan konstruksi barat seperti MAIN, Bechtel, Halliburton, Mosanto, Stone&Webster atau Brown&Root. Chas.T.Main Inc (MAIN) tempat di mana John Perkins bekerja, akhirnya bangkrut karena mismanagemen di tahun 1992 dan dibeli oleh Parsons Corporation of Pasadena, California.

Jadi tugas EHM, selain membenarkan pinjaman internasional yang besar untuk disalurkan kembali kepada perusahaan-perusahaan Amerika, mereka juga harus bekerja untuk membangkrutkan negara-negara peminjam itu (setelah negara-negara itu membayar jasa perusahaan-perusahaan Amerika
itu) sehingga negara-negara itu akan selamanya berhutang kepada kreditor mereka, dan menjadi sasaran empuk ketika Amerika memerlukan dukungan mereka, seperti pendirian pangkalan militer, hak suara di PBB atau akses
(eksploitasi) kepada sumber energi dan sumber daya alam di negara tersebut.

Ironisnya, banyak orang yang bekerja pada perusahaan seperti MAIN, seperti juga kebanyakan masyarakat Amerika, adalah orang-orang terpelajar yang sangat baik dan bersungguh-sungguh dalam bekerja untuk memerangi kemiskinan dan melakukan kebajikan. Mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya dimanfaatkan oleh segelintir orang-orang serakah dan pemerintah mereka sendiri untuk mengeksploitasi orang-orang di negara-negara dunia ketiga. Misalnya, faktor penentu kemajuan ekonomi sebuah negara adalah Produk Nasional Bruto atau GNP (Gross National Product). Kemajuan pada GNP tidak berarti kemajuan satu (atau tiap) orang dalam negara tersebut. Bisa saja, yang kaya tambah kaya, dan yang miskin tambah miskin. Tapi dari sudut pandang statsitik (GNP), hal itu bisa dicatat sebagai kemajuan ekonomi. Mirip seperti keadaan Indonesia saat ini di mana hampir semua indikator ekonomi positif tapi kehidupan ekonomi masyarakat secara riil semakin susah.

Jadi banyak orang terpelajar Amerika (dan bahkan orang Indonesia berpendidikan Barat) yang heran atas sikap anti-Amerika yang digelar para pengunjuk rasa di negara-negara dunia ketiga karena mereka selalu berpikir bahwa mereka telah bekerja keras sepenuh hati dalam membangun jalan, pelabuhan, dan pembangkit tenaga listrik, tapi yang diterima bangsa Amerika adalah kebencian dan ketidakpuasan. Mereka tidak sadar bahwa justru Amerika sendiri yang berkepentingan untuk tetap ada di negara-negara dunia ketiga tersebut untuk terus mengekploitasi sumber daya alam dan memeras tenaga penduduk negara dunia ketiga. Kejadian ini mirip-mirip seperti kejadian di daratan Amerika sendiri ketika para pendatang eropa di abad ke-20 menyakini pembenaran bahwa ketika mereka sedang memerangi para Indian (yang sebenarnya sedang berjuang untuk mempertahankan tanah mereka), mereka juga sedang memerangi para abdi setan, dan mereka yakin Tuhan merestui perbuatan mereka.

Pendidikan di Indonesia memang sangat menyedihkan seperti yang baru-baru dilaporkan Newsweek seperti yang dikatakan Maya dalam pembahasan buku ini. Tapi yang lebih menyedihkan adalah ketika kita berpikir bahwa ketrampilan (skill) itu adalah pendidikan. Di Indonesia, banyak sekali orang-orang yang terampil dalam bidang-bidang tertentu, tapi apakah mereka berpendidikan? Belum tentu. Seorang Dosen seperti Dr. Azhari jelas terampil merakit bom, mungkin trampil dalam membaca ayat-ayat Kitab Suci, tapi apakah dia berpendidikan sehingga mampu membunuh orang-orang tak berdosa dengan bom-bom yang dirakitnya?

Di tahun 1970-an, JP sempat mengunjungi Indonesia untuk melakukan penelitian guna mendapatkan data-data perkiraan pertumbuhan ekonomi. JP sempat mengunjungi kota Bandung dan menonton wayang bersama mahasiswa-mahasiswa waktu itu. Pertunjukan Wayang itu bercerita tentang bagaimana AS akan mendominasi dunia, termasuk Indonesia dan mengekploitasinya. Skenario yang sedang mulai dijalankan oleh Pemerintah Amerika. JP kaget, tapi sekaligus kagum akan sikap ramah dan tidak bermusuhan para mahasiswa kepada dirinya. Itulah salah satu ciri dari mahasiswa yang berpendidikan karena orang berpendidikan tahu membedakan sesuatu yang dilakukan oleh pribadi seorang warga suatu negara dengan sesuatu yang sedang dilakukan pemerintah bangsa itu. Dan sikap itu jelas tertanam dalam pikiran JP (kalo tidak, JP tidak akan menceritakan pengalamannya di Indonesia) dan mungkin menjadi salah satu pendorong bagi nuraninya untuk menulis buku ini.

JP juga menjelaskan bila EHM gagal melakukan tugas-nya, maka bukan berarti Pemerintah Amerika akan berhenti di tahap itu. Mereka akan melakukan tahap berikutnya, yaitu membunuh pemimpin-pemimpin negara-negara dunia ketiga yang menolak bekerja sama dengan mereka lewat tangan agen-agen inteligen seperti CIA. Presiden Ekuador-Jamine Roldos dan Presiden Panama-Omar Torrijos adalah salah-satu korban. Mereka meninggal karena tidak ingin menuruti kehendak para kreditor dunia dan EHM. Mungkin teknik pelaksanaannya seperti yang kita bisa tonton dalam film “Syrianna” yang juga pernah diputar di One Earth. Bila cara ini pun tidak berhasil, maka pilihan terakhir adalah menginvasi negara-negara tersebut seperti yang baru-baru ini Amerika lakukan terhadap Saddam Hussein dan Irak.

“Ternyata, apapun yang kita dapatkan di media belum tentu benar,”demikian komentar David. Tapi rasanya bukan hanya apa yang ada di media, tapi begitu juga /conditioning-conditioning/ di dalam pikiran kita sendiri. Kalau kita lihat dari waktu dan cara AS mencoba pertama kali mendominasi Indonesia, maka mungkin saja lewat apa yang kita pikir sebagai Pendidikan (padahal itu mungkin saja adalah Propaganda Politik, Inflitrasi Budaya/Gaya Hidup, Manipulasi Sejarah atau Doktrin Agama) Kita yang lahir di Indonesia sejak 1970-an telah ditanamkan /conditioning-conditioning/ tertentu untuk dijadikan Budak, tanpa kita sendiri sadari. Kadang-kadang kalau dipikir-pikir berengsek juga.

David juga baru saja menyadari bahwa ternyata selama ini negara Indonesia sudah terlanjur dilemahkan dan kemudian dipastikan masuk ke dalam perangkap hutang yang tak mampu kita bayar. Tapi, kalau dipikir-pikir, Amerika Serikat juga adalah negara penghutang terbesar di dunia. Neraca Perdagangan mereka selalu defisit, sehingga APBN-nya selalu tertambal investasi asing yang masuk atau hutang luar negeri.

Dari salah satu artikel yang dapat diperoleh di Internet, Neraca Perdagangan AS per-tahunnya bisa mencapai defisit US$400 milyar. Dan, mereka masih terus saja Spending (Konsumsif) karena itulah yang akan membuat ekonomi AS lebih kuat. Tapi dari mana uang-nya? Tentu saja dari dari negara-negara lain yang menabung (dan mengalami surplus
perdagangan) seperti Jepang, China dan bahkan India.

Jepang mengalami surplus perdagangan hampir US$100 milyar per tahun dan mempunyai cadangan devisa triliyunan US$ dalam surat-surat berharga AS.
China sendiri punya US$160 M. Dan , India lebih dari US$50 M. Hasilnya, AS telah mengambil lebih dari US$ 5 triliyun dari seluruh dunia setahun.
Jadi ketika dunia menabung, Amerika yang menghabiskannya. Sekarang negara-negara di dunia harus “menyetor” dana ke AS setiap harinya sebesar US$2 milyar. Kalau tidak, maka ekonomi AS akan stagnan dan seluruh dunia akan merasakan perlambatan pertumbuhan ekonomi atau bahkan resesi ekonomi. Hal yang sama akan terjadi bila tingkat konsumsi AS berkurang.

Mungkin terlintas, kenapa Jepang, China dan India menabung dalam surat berharga AS atau mata uang US Dollar? Karena, negara-negara ini perlu membeli minyak dan gas untuk keperluan mereka & Arab Saudi (dengan pertukaran perjanjian untuk selalu melindungi kekuasaan Keluarga Saud di Arab Saudi), sebagai produsen minyak terbesar di dunia, hanya menerima mata-uang Dollar Amerika sebagai pembayaran. Demikian 2 Bursa Minyak Dunia yang terletak di New York dan London. Bahkan motivasi sebenarnya dari Amerika menyerang Irak karena Saddam Hussein tidak menerima US$ sebagai pembayaran atas minyak Irak dan mungkin karena alasan yang sama akan terjadi pada Iran yang sedang berusaha membuat Bursa Minyak Baru di Teheran yang akan menerima pembayaran dengan Euro dan Yen di masa mendatang (“The Proposed Iranian Oil Bourse” by Krassimir Petrov)

Jadi pertumbuhan ekonomi dunia saat ini sangat tergantung dari sifat konsumtif konsumen AS. Dan, disadari atau tidak, AS telah membuat seluruh dunia membiayai kebiasaan konsumtif mereka. Jadi ini seperti sebuah lingkaran setan yang tak pernah terputus, sehingga ada pemikiran dari seorang ekonom AS keturunan India, Dr. Jagdish Bhagwati yang mengatakan pada PM India, Manmohan Singh bahwa menabung adalah kebiasaan yang sia-sia. Sebuah negara takkan tumbuh perekonomiannya jika masyarakatnya tidak konsumtif. Tidak hanya konsumtif, tapi meminjam dan konsumtif. Mottonya adalah "Saving is sin, and spending is virtue".

Tapi Indonesia pun punya kemiripan dengan Amerika Serikat. Neraca Perdagangan Indonesia pun selalu defisit--yang tertambal hutang/investasi luar negeri, dan punya masyarakat yang cenderung konsumtif juga. Masyarakat AS jarang menabung, tapi demikian pula Indonesia, yang karena budaya konsumtif, telah menjadi negara dengan tingkat tabungan nasional terendah di Asia Pasifik. (Kompas, 23 Sept 2006). Tapi kenapa bisa beda nasib?

Jawabannya mungkin terletak pada barang apa yang dibeli. Masyarakat AS lebih banyak mengkonsumsi produk-produk mereka sendiri, biarpun dimanufaktur di luar Amerika. Sedangkan, masyarakat Indonesia lebih suka mengkonsumsi produk-produk negara lain. Kenapa begitu? Mungkin karena masyarakat Indonesia telah kehilangan jati diri mereka sehingga mereka perlu /brand-brand/ internasional sebagai sarana untuk mengangkat harga diri (/self-esteem/) mereka. Freud dalam sudut Psikologis dinamis menyebut fenomena ini sebagai /Identification-Self Defense Mechanism/.
(Psychology Themes & Variations – Wayne Weiten).

Kehilangan jati diri masyarakat Indonesia ini erat kaitannya telah tercabutnya akar budaya Indonesia akibat inflitrasi budaya yang kadang kerap dibiayai dan dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri, dengan disadari ataupun tidak disadari. Akibatnya, kebanggaan terhadap budaya dan negara sendiri menjadi sirna dan masyarakat akan secara otomatis mencari identitas lain dari budaya-budaya asing. Salah satu contoh adalah, sejak kapan Indonesia punya kebiasaan mengkonsumsi mie-instan?
Apakah ada makanan pokok daerah yang berbasis terigu/gandum? Padahal berapa luas ladang gandum di Indonesia? (Gandum jadi Terigu yang bahan baku mie-instan). Coba bandingkan dengan makanan tradisional berbahan sagu yang berasal dari tapioka (singkong)? Dan berapa banyak luas ladang singkong di Indonesia? Kemudian, kenapa Gandum lebih dihargai sebagai makanan yang lebih “berkualitas” daripada singkong seperti kaos bermerek asing Calvin Klein jauh lebih dihargai daripada kaos bermerek lokal Djoger? Padahal menurut penelitian kandungan gizi singkong tidak kalah dengan gandum, seperti juga kaos bermerek Calvin Klein pun mampu dan pernah dibuat di pabrik-pabrik lokal di Indonesia. Aneh bukan?

Tapi inflitrasi budaya pastinya bukan datang dari kebudayaan barat saja, tetapi juga dari kebudayaan lainnya, seperti budaya Arab, budaya Cina, budaya India, dll. Eratnya hubungan Keluarga Bush dengan Dinasti Saud mungkin membuat taktik Arab Saudi tidak begitu berbeda dalam hal menyebarkan paham wahabisme dengan mendirikan dan membiayai Islamic Centers di dunia, termasuk di Indonesia, untuk menetralisir budaya-budaya lokal. (Diskusi NIM-Budaya & Integrasi Bangsa di tengah Ancaman-8 April 2006).

Menurut Roy, dalam pembahasan buku ini, parlemen Amerika, yang kita asumsikan dikuasai oleh lobi yahudi, sebenarnya telah lama dikuasai oleh pengaruh Arab Saudi. Demikian pula perbankan Amerika. JP memperkuat dugaan itu karena mnurutnya, para EHM berhasil meyakinkan Penguasa Saudi untuk menginvestasikan dana hasil penjualan minyak dalam surat berharga AS dan bunganya untuk membangun Saudi Arabia dari sebuah kampung menjadi metropolitan yang megah. Demikian kuat pengaruh itu sehingga pada masa pemerintahan President Clinton, sebuah gagasan dari Presiden untuk memberi pelajaran pada Osama Bin Laden dan Taliban sempat dialihkan dengan munculnya skandal Monica Lewinsky sehingga gagasan itu tinggal menjadi wacana sampai terjadi peristiwa 11 September.

Orang-orang Indonesia yang pintar dan berani, belakangan ini, selalu dipisahkan dari kelompoknya dan dijauhkan dari Indonesia. Entah dengan cara disekolahkan ke luar negeri atau diberi dana untuk melakukan penelitian-penelitian yang akhirnya pun data-datanya diambil oleh pemberi dana tanpa kita tahu akan dipergunakan untuk keperluan/tujuan apa. Atau, /standard of living/ orang-orang ini ditingkatkan dengan pemberian gaji-gaji/bonus yang tinggi sehingga ketika dana-dana aktivitas mereka dihentikan, maka mereka langsung kehilangan gigi.

Negara seperti Amerika jelas tahu berapa kandungan emas dan minyak di Freeport maupun di Blok Cepu karena teknologi yang mereka miliki.
Indonesia tidak tahu dan hanya menerka-nerka. Salah satu alasan Kwik Kian Gie menolak menandatangani kontrak Blok Cepu dengan Exxon karena ada pasal yang mengharuskan Indonesia membayar semacam kompensasi kepada Exxon bila ternyata cadangan minyak di Blok Cepu tidak sebanyak yang diperkirakan. Indonesia pun karena terikat dengan hutang yang tak terbayar diharuskan secara halus untuk hanya berdagang dengan negara-negara kreditor. Jadi memang ada konspirasi yang luar biasa untuk menghancurkan Indonesia.

Dan pesan-pesan ini, entah bagaimana, harus sampai pada mahasiswa-mahasiswa kita. Dan mahasiswa kita harus bergerak karena kita tidak bisa mengharapkan dari pemerintah yang sudah tidak dapat diandalkan karena tekanan-tekanan politik yang mereka hadapi untuk hanya mempertahankan kedudukan mereka. Parpol-parpol pun harus diyakinkan tentang konspirasi-konspirasi yang sedang dihadapi Indonesia. PDI-P dan Golkar di tahun 2009 harus bergabung dan menjadi suatu kekuatan politik yang mampu mempersatukan NKRI. Tapi itu pun susah terjadi.

Satu-satunya solusi bagi Indonesia adalah bagaimana membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih sadar secara kolektif. Tanpa kesadaran dari rakyat, amat mustahil untuk kebangkitan ekonomi. Sekarang ini hanya orang-orang asing yang gila spekulatif saja yang mau menanamkan investasi di Indonesia.

Keadaan di Indonesia sekarang ini sudah sangat kacau, dan ini pernah terjadi di Kerajaan Majapahit dulu dan sekarang terulangi kembali.
Ketika Majapahit gagal, maka Nusantara jatuh ke dalam jaman perbudakan selama 350 tahun. Kita sudah melakukan segala cara termasuk mencoba membentuk Human Mandala, lewat latihan Tantra, guna menghalau serangan dari luar agar Indonesia selamat. Tapi upaya itu pun gagal. Jadi sekarang satu-satunya hal yang dapat menyelamatkan bangsa adalah kesediaan kita-kita untuk berkorban. Jangan lupa bahwa Apa yang telah direncanakan Keberadaan tidak pernah gagal.

Yoga dan Meditasi yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, sekarang telah menjadi mata pelajaran wajib bagi tentara Amerika, yang diharapkan, menjadi petarung yang keras dan tidak pernah ragu untuk membunuh orang lain. Yang mempersatukan AS sekarang ini adalah yang materi, dan tentara-tentara mereka telah dipersiapkan untuk mempertahankan hegemoni AS atas ekonomi dunia karena atas dasar materi lah AS sekarang bisa bersatu dan ada. Dan dulu, barat menyebarkan imperalisme lewat agama, tapi sekarang AS berusaha menyebarkan imperalisme lewat inflitrasi budaya dan globalisasi.


Source: www.nationalintegrationmovement.org/index2.php?id=nim-news/nim-newsDetail&nim-newsid=158

10 Oktober 2006

Kehebatan Orang Indonesia

Ini cerita nyata dari temen saya mengenai ketahanan orang Indonesia yang luar biasa....baca aja lah....

Anda orang Indonesia? Masih tinggal di Indonesia?
Di Jakarta? Ke kantor naik bis umpel-umpelan?
Lalu lintas macet? Pernah Naik kereta super ekonomi ke Yogya or
surabaya? Pernah kebajiran? Pernah dipalakin di bus sama gerombolan preman?

Kalau Ada yang bertanya: apa sih yang bisa
dibanggakan for being Indonesian? Maka jawaban saya adalah : Kita. Kita harus bangga karena kita orang Indonesia Bisa dan Biasa hidup susah!!!
Saya sebut aja "survival ability" ya) tidak dimilikiorang-orang yang lama hidup di negara-negara mapan. Boss saya (orang India) pernah cerita: suatu ketika teman-nya-sebut saja Sarukh dan keluarganya -pamit pada boss saya pulang ke negara asalnya? India yang murah meriah untuk menikmati pensiun dini, setelah 15 tahun kerja di Singapore .

Eeeeeee? ... belum satu tahun pamitan pulang ke India ? Si Sarukh sudah balik lagi ke Singapore, dan kali ini minta bantuan Boss saya untuk dicariin kerjaan lagi di Singapore.

What happened? Tanya boss saya.

Sarukh bercerita, setelah pulang ke India, anak remajanya yang dibesarkan di Singapore menjadi rada-rada stress dan menjadi pasien tetap psikiater di sana. Selidik-punya selidik agaknya hal itu disebabkan karena Anaknya Sarukh tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan dari kondisi yang sangat mapan (Singapore) ke kondisi yang sebaliknya (India).
Jadi, dalam hal ini, anak si Sarukh yang sudah biasa hidup dalam kemapanan tidak punya "kemampuan bertahan waras" untuk hidup di negara yang belum mapan. Demi kebaikan anaknya, akhirnya si Sarukh memutuskan menunda pensiun dini-nya dan kembali kerja di Singapore. Kalau kita-kita yang sudah biasa hidup susah di Jakarta , pindah or berkunjung ke India sih nggak ada masalah.

Saya jadi ingat, 2 tahun lalu ketika saya dan rekan-2 kerja saya berkunjung ke India, boss saya wanti-wanti untuk: bawa obat sakit perut, dan selama di India hanya minum-minuman dari botol/kaleng. Kalau ke restoran local jangan sekali-kali minum air putih yang disediakan dari dari Teko/ceret di restoran tersebut, karena Kebersihan Airnya tidak terjamin, dan biasanya perut orang asing tidak siap untuk itu; begitu nasehat boss saya.

Pada waktu itu satu rombongan yang berangkat ke India terdiri dari 5 orang. Satu orang Jepang ? dari Jepang, dua orang Singapore dan dua orang Indonesia (termasuk saya baru sebulan kerja di Singapore). Dalam 2 minggu kunjungan ke India , kolega dari Singapore dan Jepang langsung menderita diare di Minggu pertama ke India? diselidiki, kemungkinan penyebabnya adalah mereka pernah memesan kopi atau the di restoran local pada saat makan siang (yang tentunya tidak dari botol), Sementara si orang Jepang, walaupun secara ketat dia hanya minum-minuman botol atau kaleng selama makan di restoran-restoran lokal, terkena diare diduga karena si orang jepang ini menggunakan air keran dari hotel untuk berkumur-kumur selama sikat gigi. Sedangkan saya dan satu orang rekan lagi dari Indonesia , sehat walafiat tidak menderita suatu apapun selama di sana (mungkin karena di Indonesia, sudah terbiasa jajan es dipinggir jalan yang mungkin airnya tidak lebih bersih dari air di restoran-restoran India)

What is the moral of the story?

Kita harus bangga karena Kita bisa lebih baik dari
orang Jepang dan Singapore!!! ! (at least, dalam hal ketahanan perut).

Cerita lainnya lagi, bulan lalu saya di kirim kantor (yang base-nya di Singapore) untuk mengikuti sebuah workshop di Rio de Janeiro Brazil. Total waktu trempuh saya dari Singapore ke hotel saya di Rio de Janeiro Brazil adalah 36 jam (termasuk 5 jam transit di Eropa). Sebenarnya, dari Singapore ke Brazil , jalur yang paling umum dan cepat adalah ke arah Timur, transit di Amerika, terus ke Brazil. Dengan jalur ini saya perkirakan, dalam 26-30 Jam saya sudah bisa mencapai Brazil. Cuma, karena saya orang Indonesia , untuk transit di Amerika pun saya butuh apply VISA Amerika, yang mana proses aplikasi visa tersebut memerlukan waktu sedikitnya 2 minggu. Padahal, saya tidak punya waktu sebanyak itu. Alhasil, yah begitulah, saya harus memilih rute yang sebelaliknya, mengeliling belahan bumi bagian barat, transit di Amsterdam, dengan waktu tempuhnya 6- 10 jam lebih lama. Jadinya, cukup melelahkan, tapi nggak apa-apa, namanya juga orang Indonesia, harus terbiasa dengan hal-hal yang susah-susah.

Saya sampai di hotel di Rio, hari minggu jam 11 Malam.Dan keesokan paginya saya langsung mengikuti
workshop di sana. Walaupun masih terasa lelah, saya tetap berusaha untuk terlibat aktif dalam workshop pagi itu, dengan mengajukan pertanyaan atau memberi masukan atas pertanyaan peserta lainnya. Pada saat istirahat, saya sempat berbincang-bincang dengan
kolega-kolega dari Jerman peserta workshop itu. Beberapa dari mereka mengeluh kecapaian dan menderita "jet lag", karena mereka telah menempuh 12 jam perjalanan dari Jerman, dan baru saja tiba di Brazil hari minggu siang, sehingga belum cukup waktu istirahat untuk adaptasi Jet lag, begitu keluh mereka.

Lalu, saya berkata pada mereka, bahwa sebenarnya mereka lebih beruntung dari saya, karena saya harus menempuh 36 jam perjalanan dari Singapore, dan baru tiba di hotel pukul sebelas malem, kurang dari 12 jam sebelum workshop dimulai. Mereka tertegun, salah seorang dari mereka bertanya
pada saya: "Tapi kamu naik pesawat, di kelas Bisnis khan?" "Tidak, jatah saya Cuma kelas ekonomi", jawab saya lagi. Mereka terlihat semakin terkagum-kagum (atau kasihan?), dan salah seorang dari mereka memuji. "Its very impressive, you guys Singaporean are really-really hard workers" "I'm not Singaporean, I'm Indonesian working in Singapore " jawab saya dengan bangga.

Agaknya, hari itu saya menjadi cukup terkenal di kalangan kolega dari Jerman, hanya karena terbang selama 36 jam dari Singapore 12 jam sebelumnya dan masih bisa secara aktif mengikuti workshop tersebut. Saya tahu kalau saya menjadi pembicaraan mereka, karena sewaktu makan malam, kolega dari jerman lainnya - yang saya tidak pernah ceritakan mengenai perjalanan saya dari Singapore bertanya
pada saya tips and trick supaya bisa tetap segar setelah menempuh perjalanan begitu lama (ini berarti dia mendapatkan cerita saya dari kolega jerman lainnya).

Saya bingung jawabnya. Ingin sekali saya menjawab: "Berlatihlah dengan naik kereta api super ekonomi dari Jakarta ke Surabaya di saat-saat mendekati hari lebaran. Kalau Anda terbiasa dengan
alat transportasi ini, di mana tidak hanya species "Homo Sapiens" yang bisa menjadi penumpangnya , dan di tambah lagi waktu tempuhnya yang lama sekali karena hampir di setiap setasion harus
berhenti, maka Anda akan bisa menaklukkan semua alat transportasi terbang apapun yang di muka
bumi ini".

Namun, saya urungkan memberi jawaban di atas, karena saya khawatir dia tidak akan mengerti atas apa yang saya jelaskan, dan saya yakin mereka tidak bisa "survive" dengan alat transportasi ini, yang fasilitasnya tentu jauh dari kelas Bisnis pesawat terbang (Note: kolega saya dari jerman, otomatis mendapat fasilitas kelas bisnis di pesawat apabila waktu tempuhnya lebih dari 10 jam).

Seminggu, setelah saya pulang dari Workshop di Brazil, entah karena terkagum-kagum dengan "kemampuan hidup susah" (dari sudut pandang mereka) yang saya miliki, atau karena alasan lainnya, kolega saya dari Jerman yang saya temui di Brazil, menghubungi atasan saya yang intinya meminta saya untuk ditugaskan ke Jerman, membantu project yang saat ini sedang berjalan di sana. Alhasil, bulan September ? November saya akan bergabung dengan kolega-kolega di Jerman menyelesaikan project di sana. Cukup membanggakan, karena, kata boss saya, ini kali pertama "Kantor Pusat"
meminta bantuan dari kantor cabang untuk mensupport project yang sedang mereka kerjakan di kantor pusat.

Jadi setelah membaca tulisan ini, saya harap pembaca sekalian punya alasan semakin bangga menjadi orang Indonesia. Kalau anda lagi di luar negeri dan ditanya "Anda dari mana?"

Jawablah dengan bangga:

Ya, Saya dari Indonesia, Negara yang lagi susah, Saya juga hidupnya susah Tapi saya bisa "survive", Dan saya bangga karenanya!!!